Kita sebagai santri yang sedang ataupun pernah mengenyam pendidikan di pesantren tentunya sangat familiar, bahkan hampir menjadi wajib untuk memilki sifat Tawadhu’ atau rendah hati. Yang mana dampak dari sifat ini adalah munculnya sifat Ta’dhim yaitu mengagungkan/menghormati. Sifat ta’dhim merupakan wujud pengagungan dari seorang yang tawadhu’ kepada orang yang dianggap lebih tinggi daripadanya. Sedangkan Bagi para santri biasanya memberikan pengagungan kepada para ustadz, kyai, atau keluarganya. Karena memang sifat inilah yang paling mulia yang dapat diberikan santri kepada gurunya, sebagaimana sabda nabi:
مَنْ تَوَاضَعَ لِلهِ رَفَعَهُ اللهُ وَمَنْ تَكَّبَرَ وَضَعَهُ اللهُ
Yang artinya: “Siapa yang tawadhu’ karena Allah, maka Allah akan mengangkat (derajat) nya (di dunia dan akhirat), dan siapa yang sombong maka Allah akan merendahkannya.” Hadis ini diriwayatkan oleh imam Ibnu Mandah dan imam Abu Nu’aim dari sahabat Aus bin Khauli r.a.
Dengan ini maka jelaslah imbalan bagi mereka yang terus melanggengkan sifat tawadhu’. Para santri mengimplemetasikan bentuk Ta’dhim kepada kyai atau ustadznya dengan berbagai cara seperti tidak berjalan mendahului, tidak meninggikan suara dihadapan mereka, dan sebagainya.
Kyai atau ulama’ dalam istilah umumnya merupakan sematan kepada mereka yang dianggap lebih ‘alim (mengetahui) dalam hal ilmu keagamaan. Para kyai tentunya tidak serta merta dengan mudah menjadi kyai, mereka berproses dalam berbagai tempaan ketika mendalami ilmu agama. Bahkan tidak jarang diantara para kyai yang masih melakukan tradisi mendalami ilmu agama walaupun mereka sudah tidak muda lagi, semangat mereka dalam ber tafaqquh fiddin seperti tidak akan pernah padam. Dan sebab sifat mulia yang dimiliki mereka inilah masyarakat dan para santri dengan penuh ta’dhim menyematkan gelar “kyai” kepada mereka.
Para kyai dan ulama’ memiliki peran besar dalam kehidupan masyarakat dan para santri pada khususnya. Para kyai seringkali menjadi penentu keputusan hingga menjadi rujukan dalam berbagai masalah kemasyarakatan, baik berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, atau bahkan untuk mengambil langkah lanjutan. Banyak sekali kisah para ulama’ terdahulu yang meminta pendapat gurunya ketika hendak melakukan sesuatu. Hal ini tidaklah para ulama’ lakukan tanpa dasar, mereka mengacu kepada perilaku para sahabat yang ketika dihadapkan dengan suatu persoalan, mereka akan datang menemui nabi guna meminta pandangan nabi. Memanglah benar para ulama’ atau kyai ini tidak akan pernah menjadi persis seperti nabi, oleh karenanya perilaku kegiatan seperti meminta pendapat para ulama’ dan kyai atau yang sering disebut sebagai “sowan” ini seringkali mendapat hujatan. Ada yang beranggapan “untuk apa meminta pendapat para kyai? Mereka itu sama saja seperti kita, manusia biasa”, ataupun seperti “para kyai itu tidak seperti rasulullah, meminta pendapat mereka tidak akan merubah apapun” dan sebagainya. Hal seperti ini memang benar, kita tidak bisa memungkiri bahwa apa yang dimuat dalam ungkapan seperti diatas ada benarnya juga, para kyai tidak akan pernah bisa menyamai kepribadian Nabi S.A.W. yang begitu indahnya. Namun, bukankah kita sebagai penuntut ilmu harus menyikapi pernyataan semacam ini dengan bijak, kita juga harus mampu menyangkal hujatan seperti ini dengan dasar pula. Rasulullah pernah bersabda:
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِیَاءَِ إِنَّ الْأَنْبِیَاء لَمْ یُوَرِّثُوا دِینَاراً وَ لَا دِرْهَماً وَ لَکِنْ وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ مِنْهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِر
Artinya: “Para ulama adalah pewaris para nabi, karena para nabi tidaklah meninggalkan emas dan perak di dunia, akan tetapi ilmunya tetaplah langgeng. Maka barang siapa yang menggunakan ilmu mereka, akan mendapatkan banyak manfaat”.
Harusnya dengan hadits diatas cukup untuk menjelaskan bagaimana posisi para ulama’ setelah wafatnya nabi. Para ulama’ terdahulu sudah melakukan kebiasaan mengadukan permasalahan mereka kepada guru-gurunya, seperti halnya kisah KH. Hasyim Asy’ari yang meminta pendapat gurunya yaitu Kyai Kholil saat hendak membentuk Nahdhatul Ulama’ ataupun Imam Muhammad bin Idris Assyafi’I (Imam Syafi’i) yang mengadukan tentang sulitnya ia menghafal, ia mengadukan masalah itu kepada gurunya Imam Waki’ yang syi’rnya terabadikan dalam kitab I’anatuth Tholibin karya Sayyid Abu Bakar Utsman atau yang sering dikenal sebagai Al bakri. Berikut adalah syiir imam syafi’i:
شَكَوْت إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي فَأَرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ وَنُورُ اللَّهِ لَا يُهْدَى لِعَاصِي
“Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat”.
Kita sebagai santri sudah seharusnya melestarikan tradisi semacam ini. Ketika kita datang sowan ke kyai, jangan pernah lupa untuk meminta pendapat mereka tentang persoalan yang sedang kita hadapi,. Seringkali ketika sowan kepada para kyai kita hanya berbasa-basi dan ikut bercanda bersama beliau, hal seperti ini sungguh disayangkan, bahjkan hanya untuk meminta do’a dari mereka pun kita merasa malu atau sungkan. Akhirnya kita hanya pergi ke makam para auliya’ dengan harap untuk di doakan pula oleh mereka, atau hanya sekedar mengharap ikut keluberan berkah dari mereka, bukankah hal semacam sungguh disayangkan?. Seringkali kita berpikir bahwa hanya para wali lah yang memiliki ma’rifat, bahkan hingga mereka wafat pun kita tak hentinya berziarah ke makam mereka dengan harapan mendapat berkah dari karomah ma’rifat mereka agar masalah kita dapat segera terselesaikan. Hal seperti ini tidaklah salah, hanya saja bukankah kita justru menyia-nyiakan para ulama’ yang masih hidup, khususnya guru-guru kita sendiri. Bukankah akan lebih baik jika kita lebih sering berkunjung ke kediaman guru-guru kita untuk mendapat keberkahan. Penulis yakin, bahwa para guru akan dengan senang hati mendengarkan permasalahan yang sedang kita hadapi dan memberikan pandangan mereka. Justru, para guru kita inilah yang lebih ma’rifat terhadap masalah yang sedang kita hadapi. Karena mereka lebih tahu persis bagaimana perangai kita, atau bahkan mengerti bagaimana baiknya langkah kita dalam menghadapi masalah sesuai dengan kondisi diri kita. Jangan pernah sia-sia kan apa yang sudah Allah berikan nikmatnya dengan begitu besar dihadapanmu.
Semoga Allah jaga guru kita semua serta lindungi dan terus lingkupi mereka dalam Rahmat-Nya.
Oleh Ahmad Yusron Chasani